Aku Tidak Pantas Dibenci
By: Muti’ah Nurul Jihadah, X2
“Bu, Lita. Ayah pergi dulu ya” kata ayah Lita
sambil menyeret gerobak sampahnya. Ibu tersenyum, “Hati-hati ya yah”. Namun
tidak dengan Lita. Gadis itu hanya diam membatu. Ia hanya melengah saat Ayahnya
menatapnya dengan seulas senyum tanda kesabaran diantara kepahitan hidup.
Semua berasal dari sore itu.
Sore dimana Sonia terperanjat mengenali seorang
bapak yang ada di depannya. Bapak yang tengah mengais-ngais sampah itu. Bapak
dari salah seorang temannya.
Sonia tersenyum miring, "Semua orang harus
tahu ini".
***
Di depan kelas, banyak siswa yang berkumpul
menyaksikan pertengkaran itu.
"Nggak usah ngaku-ngaku anak konglomerat
deh!"
"Beneran, ayahku yang punya perusahaan
garmen itu!"
"Uhm...nggak usah ngayal tinggi-tinggi
deh," timpal Sonia sambil mengambil sikap mengintimidasi. tangannya
dikacakkkan ke pinggang dan ia maju selangkah.
"So, ini apaan?" katanya sambil
mengacungkan selembar foto.
Lita terperanjat, "Nggak mungkin! Ini
rekayasa, tahu!"
"Kamu nggak usah bohong lagi. Eh!
Semuanya! Rupanya, Lita selama ini bohong! Dia punya ayah pemulung!"
Mulut Lita terbuka seakan mengatakan sesuatu,
tapi Zack ada di sana.
"Direktur apaan? ternyata cuma pemulung.
Ini pasti dari hasil ngemis ya?" Sonia menarik ujung lengan baju Lita,
namun langsung ditepisnya.
"Eww...nggak usah sok bersih deh, ini juga
banyak kumannya...iii" seru Sonia jijik dan menggosokkan tangannya ke baju
Rani yang ada disebelahnya.
"Heh! Ntar malah gue yang kena diare! Atau
muntaber!" seru Rani keras.
"Lo makan dari hasil nyuri, hah? Uang
sekolah lo juga hasil jambret?" tanya Rani lagi, yang memang terkenal
kasar. Lita diam saja, wajahnya pucat dan matanya berkaca- kaca.
"Eh, nggak usah sok nyari- nyari simpati
deh. Nggak usah acting nangis-nangisan!" tukas Tiffany sinis.
Wajah Lita tambah pucat. Lalu tangannya melayang
dan tepat mengenai wajah Tiffany.
"Dasar anak pemulung! Jaga tangan lo yang
penuh najis itu!" seru Rani sambil menahan Tiffany yang mulai menangis.
Tiffany hampir membalasnya, namun Lita terlanjur pergi.
***
Zack mencari-cari Lita. Di mana anak itu?
Akhirnya Zack menemukannya. Lita sedang
terduduk sendu di taman belakang sekolah. matanya sembap seperti habis
menangis.
"Lita!"
Yang dipanggil segera melihat. Lalu ia langsung
mengalihkan pandangannya yang mulai kabur akibat titik airmata malu yang
ditanggungnya sejak tadi. Dadanya terasa sangat sesak.
“Lita! Aku kira kamu dimana,”
Jantung Lita semakin tak karuan. Masa ia harus
menumpahkan segalanya pada Zack?
“Lita, ini aku. Jangan takut”
“Aku tahu itu kamu, Zack,” airmata Lita
langsung mengalir tanpa sebab. Ia cepat-cepat menghapusnya. Namun rasa ini
sudah tidak bisa ditahannya lagi. Ia langsung terisak. Zack jadi bingung. Cewek
tidak pernah menangis di dekatnya.
‘Li…Lita…aku udah dengar semuanya. Aku udah
dengar. Kamu bisa cerita sama aku.”kata Zack keki. Ia takut melukai perasaan
Lita.
“Nggak usah percaya aku lagi. Aku memang
bohong. Aku udah nggak pantas lagi untuk dipercaya. Ayahku pemulung. PEMULUNG,
ZACK!” teriak Lita.
‘Sst…maaf, tapi kenapa…eh…um…” Zack jadi ragu,
“Kenapa kamu malah mengatakan papamu pengusaha garmen?” Lita malah menangis
lagi. Zack hanya diam, menunggu lita tenang.
“itu mimpiku. Ayah punya bakat dagang,
kebetulan keluarga kakek punya perusahaan garmen yang udah gulung tikar. Aku
harap ayah bisa, ayah bisa menjadi pengusaha. Tapi semuanya berubah sejak kakek
meninggal. Ayah udah nggak mungkin lagi ngedapetinnya karena ayah ditindas
kakak-kakaknya, harta Ayah disita, sampai nggak ada lagi yang tersisa. Selama
ini aku dapat bantuan dari Tante Ayana, adik ayah satu-satunya. Tapi itu nggak
seberapa,” Lita menghela napas panjang karena matanya mulai kabur akibat air
matanya. Ia tidak mau menunjukkan tangisannya lagi. Ia harus tegar. “malahan
tante kadang-kadang melecehkan keluarga kami. Aku nggak ingin semua terulang
lagi di sekolah, namun nyatanya…”
“Kira-kira kenapa Sonia musuhan sama kamu,
padahal aku amati nggak ada kesalahan padamu?” potong Zack, yang lagi menggumam
tiba-tiba.
“Nah itu dia, tapi banyak yang bilang kalau
‘Sonia iri sama kecantikan kamu’ ada versi lain, ‘Sonia takut kamu bakalan
dipacarin Zack’ atau ‘Sonia nggak suka kamu berada di ranking 2. Dia nggak suka
ranking kamu deketan sama Zack’ atau semacamnya lah”, sahut Lita menerawang.
Diam diam rasa syukurnya menelusup, bersyukur bahwa semua kelebihannya membuat
gadis yang populer di sekolah menjadi iri.
“Oh”
seru Zack, “Tapi kamu harusnya bersyukur, kalau ternyata, kamu diterima di
sekolah ini, SMA Budi Terpuji ini pake
tes mandiri, dengan jalur beasiswa dan mendapat peringkat 4 lagi. Nggak semua
orang sepertimu bisa. Iya sih, boleh kamu anak pemulung atau anak apapun, tapi
kan nggak ada hak orang lain yang bakal ngebatasin kita berkarya dan bertindak.
Life must go on, Lit. Kamu nggak
boleh menyerah. Jackie Chan saja hampir dijual orangtuanya, saking miskinnya
keluarga mereka. Namun Allah berkehendak lain, Lit. Jackie Chan seperti
sekarang ini, jadi artis laga. Dan adegannya ekstrim banget lho. Pernah kutiru,
dan…wuah, pas jatuhnya sakit buanget! Belum lagi Abraham Lincoln sebelum jadi
Presiden USA. Kegagalannya di senat, banyak banget lho! Ada lagi Hellen Keller,
penulis terkenal itu, dari kondisinya yang buta dan tuli, novelnya terkenal
banget! Nggak usah jauh deh, J.K Rowling aja dulunya miskin banget, saking
miskinnya buat naskah dan ngegandain naskah Harpot pake tangan coba, padahal
kan udah ada komputer atau mesin tiklah!
Tapi kenyataannya, bestseller! Kamu
pasti bisa Lit! Jangan malu. Nggak usah dengarin apa kata orang! Anjing
menggonggong kafilah berlalu! And last,
never give up, keep fight! Jangan pernah menyerah, tetap berjuang!”
Lita
menyunggingkan senyum optimis. Iya ya,
pikirnya dalam hati. Kenapa aku lupa?
Zack
berdebar ketika melihat senyum gadis itu. Hatinya lega sekarang. Kalau saja kamu tahu, apa yang dicemburui
Sonia itu benar, pikirnya.
“Terima
kasih atas semuanya Zack, aku akan berjuang,” kata Lita kalem. Zack menarik
napas lega dan tersenyum balik menatapnya.
“Aku
suka kamu yang seperti ini Lit,”
*
“Ayah,”
panggil Lita. Senyumnya mengembang. Hati ayahnya langsung luluh, dan untuk
membalasi hari-hari mereka yang kaku, ayahnya memeluknya.
“Maafkan
Lita Yah,” tangis Lita. “Maafkan Lita yang udah marah sama Ayah, gara-gara
profesi Ayah. Lita udah sadar Yah, Lita nggak mesti malu, tapi bangga. Bangga
punya ayah yang masih punya banyak waktu untuk Lita. Bangga Yah, tidak seperti
ayah teman-teman yang bekerja di kantor. Lita janji Yah, Lita nggak bakal
ngecewain Ayah dan Ibu. Lita bakal buktiin kalo Lita nggak pantas dibenci
teman-teman Lita”.
Ayahnya
hanya tersenyum dan menitikkan airmata. Ibunya tersenyum hangat melihat
kejadian itu, membuat Lita dan ayahnya menghambur memeluk ibu.
“Iya
nak, Ayah juga. Bahagiakan kami ya…”
*
“Lit,
kamu serius? Kamu bakal ikut babak nasional, mewakili Sumatera Barat, ke
Jakarta?” Tanya Zack pada hari itu, hari dimana Lita diberitahu gurunya tentang
kelulusannya menjadi Juara 1 Olimpiade Biologi tingkat provinsi.
“Iya
Zack. Do’akan aku ya.” Senyum Lita merekah indah. “Dan, aku juga udah buktiin
kalo aku, nggak pantas dibenci.”
“Kalo
gitu selamat, Lit. aku harap kamu bakalan berhasil, sampe UN nanti,”
“Cuma
sampai UN, gitu? Terus pas kuliah, pas kerja?”
“Oh…iya.
Hehehe,” sahut Zack. “Oke deh, aku doain. Tapi jangan lupain aku ya? Doakan aku
terus,” pintanya dengan pasang tampang innocent.
“Untuk
kamu, apa sih yang nggak?”, Lita keceplosan. Muka Zack memerah.
Sonia
menghampirinya, begitu pula Rani dan Tiffany. “Lit, maafin kami ya. Kami sadar,
kalo kamu ternyata lebih baik. Kita nggak mesti dan nggak bakal mandang orang
dari kekayaannya lagi deh Lit, swear!”
sahut Sonia penuh rasa penyesalan.
Zack
dan Lita berpandangan, lalu seperti mendapat ide, Lita menyambut uluran tangan
Sonia. “Deal” sahutnya. “Kumaafkan, tapi tolong jangan pernah ulangi lagi ya,
kalo kalian jadi aku, bayangin. Rasanya pahit banget tahu!” kata Lita dengan
senyumnya.
“Ayahku
memang seorang pemulung,” seru Lita, dengan memberikan penekanan pada kata-kata
‘pemulung’. “Tapi jangan diolok, aku memang anak pemulung, tapi aku berjanji
tidak akan menjadi pemulung, dan melanjutkan impian Ayahku untuk menjadi orang
sukses. Orang Indonesia bisa apa aja. Bisa sepintar Jepang dan Amerika, bisa
sereligius orang Arab, makanya jangan ada yang membatasi orang Indonesia untuk
berkarya, termasuk orang Indonesia itu sendiri.”
Rani,
Tiffany dan terutama Sonia hanya tersipu, dan berkata dengan serentak “Iya lit,
kamu udah berhasil buktiin bahwa kami nggak pantas benci kepadamu. Mau nggak
jadi teman kami?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar